Bagi yang beriman dalam Islam maka "Hidup ini mudah ditebak", hal itu sudah disampaikan dalam khutbah terakhir Sang Nabi yang menyampaikan secara tegas bahwa Pedoman Perjalanan di Dunia sudah sempurna, yang dapat diartikan rumus persamaannya telah divalidasi, sisa diaplikasi.
Kita hanya diminta menjadi orang baik, berniat baik, bertujuan baik lalu menjalani proses tersebut dengan memilih cara yang baik-baik saja, tentu saja indikator kebaikan itu ada di dalam Kitab Suci.
Baca juga:
Pajakku, Pajakmu dan Pajak Kita
|
Masalahnya, manusia tidak terlahir cerdas dan adil, kita semua justru dilahirkan bodoh dan dzolim.
Buktinya, anak bayi yang merangkak tidak mampu membedakan mana makanan dan mana yang sampah, ia juga terlihat serakah dengan merengek meminta dan mengambil semua yang bisa ia jangkau.
Akal sebagai perangkat berfikir yang mampu mencipta dan bisa untuk terus dikembangkan mencapai tahap yang lebih baik, menjadi pembeda untuk setiap anak manusia.
Sudahkah akal kita terkelola dengan lebih baik?, Atau kita hanya sedang bertumbuh belajar justru menguatkan kecerdasan agar lebih dzolim dan serakah yang memang melekat didiri sejak masih bayi.
Kecerdasan yang dididik dan diajarkan oleh "Para Guru" jika terus diasah senyatanya akan mampu membuat tajam pisau analisa berfikir dan membuat cemerlang bakat di DNA atau menguatkan minat di keinginan, ini disebut "Manusia Kompeten".
Sayangnya, kompetensi saja tidak cukup, sebab kematangan moral-lah yang justru mampu membuat manusia mencapai puncak kebahagiaan hidup.
Baca juga:
Tony Rosyid: Tunda Pemilu dan PJ Presiden
|
Yang berkompeten belum tentu matang dan kematangan pasti harus diawali dengan kepemilikan kompetensi diri.
Ada 4 level kebahagiaan hidup yang saya katgorikan sendiri setelah melakukan telaah di Kitab Suci:
Level tertinggi adalah Nikmat
Level kedua adalah Beruntung
Level ketiga adalah Berhasil
dan
Level paling rendah yakni Sukses.
Tentu saja kita harus beri kata "Selamat" bagi siapapun yang mencapai level bahagia tadi, karena itu kata Selamat menjadi Etimologi atau akar kata dari "Islam" itu sendiri.
Namun, "Kompetensi Diri" hanya bisa mendapatkan seperdua dari empat level yang ada, karena level Beruntung dan Nikmat hanya bagi mereka yang menyempurnakannya dengan "Kematangan Jiwa".
Mengurai keempatnya, mungkin akan mengambil narasi yang cukup panjang, tapi semoga analogi perumpamaan ini, cukup untuk menjabarkannya dengan ringkas.
Jika anda berdoa dan berusaha lalu doa itu terkabul maka itu bisa disebut "Sukses", misalnya Doa menjadi Pegawai Negeri Sipil dan benar-benar lulus.
Baca juga:
Realease Kompas Bagaimana Respon Kita ?
|
Tapi tidak semua yang mendapatkan predikat sukses dikatakan "Berhasil", sebab sebagian diantara PNS justru terjebak di rutinitas yang menyiksa jiwanya, menurunkan kehormatan sebelumnya yang justru ia nilai lebih tinggi, atau terjebak di gaya hidup kemewahan pandangan mata yang memaksanya untuk digerus oleh sialnya utang pola riba.
Yang sampai ke level Berhasil dapat diukur dalam progres kemajuan yang terlihat oleh mata manusia, seperti pangkat, jabatan, sejahterah atau hasil-hasil nyata dan terukur lainnya.
Bagaimana dengan Level Nikmat dan Level Beruntung...?!
Silahkan anda uji di Kitab Suci...
Selalu saja ada keistimewaan di Halaman Pertama dan Kedua yang memperhadapkan Surah Al Fatihah dan beberapa Ayat Pertama Surah Al Baqarah.
Baca juga:
Tony Rosyid: Puan Makin Terancam?
|
Saya hanya akan mengurai Level Nikmat di renungan ini, dan Level Beruntung di status selanjutnya.
Surah Al Fatihah dalam renungan saya berisi dua bagian, bagian pertama yaitu untuk Allah Subhanahu Wa Ta'Ala hingga kalimat "Kepadamu lah kami Meminta dan Hanya Kepadamu Kami Memohon Pertolongan" sedangkan kalimat setelahnya, merupakan kunci mencapai level tertinggi di kebahagiaan hidup yakni Nikmat.
Dimulai dari harapan untuk diberi petunjuk "Jalan Lurus", yang bermakna bahwa semua petunjuk didalam kitab suci diakui, hanya saja, sebagai manusia lemah yang ditempati lupa, khilaf dan salah, maka kita minta selalu ditunjuki, disetiap saat dan disepanjang perjalanan hidup.
Selanjutnya di tuliskan, bahwa jalan lurus yang kita harapkan agar dapat mencapai nikmat seperti mereka, orang-orang yang sebelumnya mendahului kita dan berhasil menempuh jalan lurus itu dan meraih nikmatnya.
Ternyata, hanya ada 4 Orang yang bisa berhasil mencapai kata Nikmat dalam sejarah orang-orang dahulu.
1. Para Nabi;
2. Para Syuhada;
3. Orang-orang jujur benar (Shiddiqin); dan
4. Orang-orang yang beramal saleh (Sholehin)
Ya... Benar, hanya keempat itu.
Sayangnya, Ruh kita bukanlah Ruh yang kuat dan semulia para manusia yang terlahir sebagai nabi, meski Ruh kita pernah satu alam dengan Ruh mereka, namun karena Ruh kita lebih rendah kekuatannya, makanya kita dilahirkan sedikit lebih jauh dari masa kenabian yang terakhir.
Sedangkan, nikmat para syuhada baru bisa kita rasakan didetik terakhir sebelum ruh keluar dari tubuh untuk terangkat bersama jiwa menuju akses langsung ke syurganya.
Karena itu, peluang emas mendapatkan Nikmat Hidup disepanjang Masa Perjalanan Dunia hanya ada 2, yakni menjadi orang yang jujur berkata benar atau menjadi manusia yang paling banyak amal shalehnya.
Baca juga:
Alex Wibisono: Demokrasi Kentut
|
Menjadi manusia jujur bukanlah hal yang rumit, sebab kuncinya hanya mengatakan apa yang ada dihati, selaras dengan yang difikirkan dan sesuai dengan apa yang indera mata, telinga, dan mulut alami.
Hanya saja, terkadang keinginan, hasrat, emosi, bahkan ketakutan, membuat kita menjauhi bahkan dengan sadar menghindari kejujuran.
Kenapa?
Sebab adanya sifat dasar dimasa kecil yang masih lebih kuat daripada kematangan jiwa.
Seandainya kita paham bahwa "Jujur untuk menyatakan hal Benar itu membawa Nikmat", maka semua bisa berani menyatakan senyatanya.
Seandainya kita tidak takut kehilangan apapun selain ketakutan pada Yang Maha Mengetahui, maka dipastikan respon dan persepsi yang kita ungkapkan akan selalu berada di level jujur.
Artinya... Menjadi "Manusia Jujur" tidak membutuhkan Nyali, ia hanya membutuhkan keyakinan bahwa ketakutan hanya kepada Tuhan akan menjauhkan mudharat atau keburukan dari siapapun yang diciptakan oleh Tuhan.
Bagaimana dengan Amal Shaleh?
Amal Shaleh adalah hal yang lebih mudah daripada jujur, sebab semua manusia pasti beramal, hanya saja "manusia yang tidak beriman" tidak akan mencapai level Sholeh.
Sedangkan, manusia yang beriman dalam Islam apabila "bergerak melakukan sesuatu yang baik" maka otomatis ia disebut sedang beramal.
Manusia beramal tadi, akan disebut beramal Sholeh jika melakukan perbuatannya dengan berniat, bertujuan, dan berproses hanya untuk menggapai nikmat Allah SWT.
Kesadaran berbuat didasari kesholehan ini adalah jalan lurus yang membuat siapapun pelakunya dapat mencapai nikmat.
Bahagia yang tidak hanya sukses, berhasil, atau beruntung, tapi juga sampai ke level bahagia tertinggi yakni Nikmat.
Hanya ada 2 hal yang membatasi para pengharap jalan yang lurus, yakni jalan sesat atau jalan yang dimurkai.
Contoh ekstrimnya adalah melakukan hubungan terlarang dengan selingkuhan, yang bisa saja karena kompetensi menggombal diatas rata-rata akan mudah untuk sukses dan berhasil menggaet gadis atau janda idola.
Tapi, tidak akan sampai ke level beruntung apalagi melakukan hubungan yang nikmat, pasti rasanya ada rugi nya dan bakal berdampak pada berkurangnya limpahan nikmat-Nya.
Jadi... Kompetensi saja tidak cukup, butuh kematangan.
Namun karena panjangnya waktu yang Anda sempatkan membaca status ini, kita akan melanjutkan narasi renungannya bersama uraian menemukan "Level Keberuntungan" di Falsafah Ardi berikutnya.
"Salama Ki di Kebaikan"
Penulis: Ardi Susanto, SH